A. AMANAH
Amanah (terpercaya) adalah sifat utama
yang harus dimiliki seorang da’i sebelum sifat-sifat yang lain. Jika kita
renungkan bersama maka kita akan mendapatkan bahwa amanah merupakan sifat yang
dimiliki oleh seluruh para nabi dan rasul. Karena amanah selalu bersamaan
dengan ash-shidq (kejujuran), maka
tidak ada manusia jujur yang tidak terpercaya,dan tidak ada manusia terpercaya
yang tidak jujur.[1] Amanah
juga merupakan bentuk tanggung jawab yang sangat sulit untuk dilaksanakan
ataupun dicapai tampa adanya iman yang tebal dalam diri seseorang. Oleh karena
itu di dalam Al Qur’an banyak dijelaskan bagaimana para nabipun berdo’a kepada
Allah SWT agar diberikan sifat-sifat seperti amanah dan terpercaya.
Beberapa ayat
Al Qur’an yang menjelaskan bahwa para nabi dan rosul mempunyai sifat amanah
ditegaskan dalam :
-
Asy-Syuara : 83-84, 105-107, 141-143, 160-162,
176-178
-
An-Naml : 39
B.
SHIDQ
Sifat da’i yang berikutnya adalah shidq-yang
berarti kejujuran dan kebenaran; lawan kata dari kedustaan-termasuk diantara
sifat-sifat dasar yang menjelaskan potensi dasar seorang pelopor perjuangan.
Rasulullah SAW. Bersabda:
Yang artinya:
Sesungguhnya
kejujuran itu mengantar kepada kebajikan dan kebajikan itu mengantarkan ke
syurga. Seseorang bersikap jujur sehingga Allah menetapkanya sebagai orang yang
jujur. Sesungguhnya dusta itu mengantarkan pada perbuatan dosa dan dosa itu
mengantarkan ke neraka. Seseorang bersikap dusta sehingga Allah menetapkanya
sebagai pendusta. (HR. Bukhari dan Muslim)
Shidq terdiri
dari beberapa tingkatan :
Shidq dalam perkataan
Merupakan
kewajiban bagi setiap muslim untuk memelihara tutur katanya. Hendaknya ia tidak
berbicara kecuali dengan jujur. Agar kejujuran itu menjadi pembimbing dalam
segala sesuatu, maka seorang muslim harus merasa malu kepada Allah ketika lisanya
mengucapkan,
Wajahtu wajhiya liladzi fatharas samawati wal ardha hanifan, yang
artiinya, Aku hadapkan wajah (diri)-ku
kepada Dzat (Allah) yang telah menciptakan langit dan bumi dengan penuh
kerelaan. (Al-An’am: 79)
Sementara
fikiran dan hatinya jauh dari Allah SWT. Dan disibukkan dengan angan-angan
dunia dan keindahanya, itu berarti pernyataanya bohong.
Dia berkata, Iyaka na’budu yang artinya Hanya keapda-Mu kami beribadah, tetapi
ternyata ia diperbudak oleh dirham dan dinarnya. Dia juga mengatakan, Wa iyaka nasta’in yang artinya Hanya kepadamu kami memohon pertolongan,
tetapi dia meminta pertolongan kepada selain Allah, yaitu kepada manusia.
Shidq dalam niat dan kehendak
Shidq dalam niat dan kehendak
dikembalikan pada keihlasan Artinya, tidak ada motivasi dalam gerak diamnya
selain karena Allah. Jika niat seperti itu disertai dengan keinginan-keinginan
nafsu, niscaya kejujuranya menjadi batal (hilang).
Shidqul ,azm (Tekad yang Benar)
Yaitu semangat
yang kuat, tidak ada kecenderungan lain, tidak melemah dan tidak ragu-ragu,
sebagaimana firman Allah SWT dalam Al Qur’an :
Ketaatan dan mengucapkan perkataan yang baik (adalah lebih baik bagi
mereka). Apabila telah tetap perintah perang (mereka tidak menyukainya). Tetapi
jikalau mereka benar (imanya) trhadap Allah, niscaya yang demikian itu lebih
baik bagi mereka (Muhammad: 21)
Shidq dalam menepati janji
Sebagaimana
firman Allah SWT, Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang
menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah...(Al Ahzab:23)
Shidq dalam Bekerja
Dalam
artian hendaklah bersungguh-sungguh dalam beramal sehingga apa yang tampak
dalam perbuatannya adalah apa yang ada dalam hatinya. Barangsiapa memberi
nasehat kepada orang lain dengan tutur kata yang baik, tetapi batinya
menginginkan agar ia dikatakan sebagai orang yang alim, ia telah berbohong dengan
perilakunya. Ia tidak jujur, karena kejujuran beramal adalah sikap yang sama
dalam keadaan sendiri maupun dihadapan orang banyak. Artinya batinya seperti
zhahirnya atau bahkan lebih baik dari zhahirnya.
Derajat
kejujuran itu tidak ada habisnya, karena seseorang itu kadang-kadang bisa jujur
dalam satu hal, tetapi tidak bisa jujur dalam hal yang lainya, sehingga jika
kejujuran itu secara menyelurh, itulah kejujuran yang sebenarnya. Oleh karena
itu, sifat jujur dan amanah saling memperkuat, dan merupakan dua sifat yang
tidak bisa dipisahkan; karena keduanya berkaitan erat dengan ihlas.
C.
Ikhlas
Seorang da’i
harus mengikhlaskan amalnya karena Allah-juga diperintahkan untuk huznuzhan
(berbaik sangka) kepada seluruh kaum muslimin dan menyerahkan amal mereka
kepada Allah SWT. Oleh karena itu ulama salaf berkata “Sesungguhnya aku senang bila segala sesuatu (yang aku lakukan) itu
disertai dengan niat, hingga di dalam masalah makanan, minum, dan masuk ke
kamar kecil sekalipun”. Ulama salaf sering melakukan muhasabah terhadap
dirinya, terhadap setiap gerak dan diamnya, hingga amal mereka menjadi ikhlas
semata untuk mencari ridha Allah SWT.
Oleh karena itu terapi keihlasan adalah
dengan menghilangkan keinginan-keinginan nafsu dan memutus sifat tamak terhadap
dunia, serta hanya menginginkan akhirat. Keinginan kepada akhirat itulah yang
dominan dalam hati. Dengan demikian keihlasan itu akan mudah diperoleh, karena
betapa banyak amalan yang diperbuat manusia dngan susah payah. Dia mengira
bahwa amalan-amalan itu secara ihlas dilakukan karena Allah, akan tetapi
ternyata ia tertipu, karena ia tidak melihat bahaya di dalamnya. Maka hendaklah
seorang da’i sangat berhati-hati dan selalu melakukan instropeksi diri,
sehingga dakwahnya benar-benar murni karena Allah SWT. Hendaknya ia berkata
pada dirinya :
“Katakanlah saya tidak meminta imbalan (atas
dakwahku), tidak ada yang memberikan imbalan kepadaku kecuali (ALLAH) Tuhan
Semesta Alam”.
D.
Rahmah,
Rifq, dan Hilm
Seorang da’i
wajib mengetahui bahwa risalah yang diembanya untuk manusia seluruh manusia ini
adalah risalah rahmah (kasih sayang), sebagaimana ditegaskan dalam Al Qur’an
yang di tujukan kepada Rasululloh SAW :
Dan tidaklah
kami utus engkau (Muhammad) kecuali sebagai rahmat untuk alam semesta (Al
Anbiyak:107)
Rahmah (kasih
sayang) itu meliputi kasih sayang dalam akidah, syari’at, dan ahlak. Kasih
sayang islam itu ada dalam seluruh aspek kehidupan, sehingga kasih sayang itu
telah menjadi ciri khas masyarakat islam, baik terhadap sesama manusia, hewan,
tumbuhan, bahkan tehadap benda mati sekalipun.
Jika dibaca
surat Al Fatihah, maka akan diperoleh beberapa manfa’at yang besar terkait dengan
masalah kasih sayang, antara lain sebagai berikut:
1.
Sesungguhnya orang yang berada di jalan dakwah
dan memulainya dengan asma Allah harus berakhlak dengan akhlak Ar-Rahman dan Ar-Rahim, karena risalah Islam itu merupakan rahmat bagi alam
semesta. Rahmat dalam struktur dan nilainya yang dapat menghilangkan kesulitan
dan beban, yaitu dengan akidahnya. Juga rahmad dalam menyebarkan keadilan dan
kebajikan serta memenuhi hajat kerabat, yaitu dengan syariatnya. Juga
menyempurnakan ahklak mulia dengan segala keutamaanya.
2.
Rahmah (kasih sayang) tidak akan terwujud
kecuali dengan memperhatikan orang yang didakwahi. Oleh sebab itu kita tidak
boleh membenci mereka, tetapi tanamkan sifat kasih terhadap mereka, sehingga
kita bisa melihat apa yang mereka tidak bisa melihatnya, dan kita bisa membawa
mereka ke jalan kebaikan.
3.
Hendaknya seorang da’i menjadikan usahanya untuk
memberikan kasih sayang itu berdasrkan dua cara:
-
Beribadah dengan ihlas karena Allah.
-
Mohon
pertolongan hanya kepada-Nya.
4.
Hendaknya seorang da’i mengetahui bahwa jika ia
berbuat demikian, berarti ia telah mengikuti jejak orang-orang yang diberi
nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, shiddiqin, syuhada’, dan orang-orang saleh.
Seorang da’i
ketika dihiasi oleh sifat kasih sayang dan berakhlak dengan ahklak itu, dia
akan mempunyai kepekaan perasaan dalam menyikapi orang lain. Karena Allah
sendiri tidak menginginkan mahluk-Nya kecuali kemudahan. Allah SWT berfirman:
Allah
menginginkan kemudahan bagimu, dan tidak menginginkan kesulitan bagimu. (Al
Baqarah: 185)
Dengan
demikian maka kita senantiasa berada dalam suasana yang diliputi oleh
kelemahlembutan, kasih sayang dan keramahan. Syi’ar Islam yang disampaikan oleh
rasululloh adalah “Gembirakanlah dan jangan kau takut-takuti. Mudahkanlah dan
jangan kau persulit”.
Bersikap lemah lembut
Sesungguhnya
termasuk keburukan seorang da’i tehadap dirinya sendiri adalah apabila ia
memberatkan manusia, seakan ia melihat mereka dengan pengelihatan yang hina,
atau dengan pandangan yang sombong dan merasa paling tinggi. Hendaklah dia
teringat bagaimana keadaanya sebelum mendapat hidayah, sehingga tidak mudah
melempar cercaan pada orang-orang yang berbuat maksiat.
Jika
seorang da’i berbuat demikian, berarti dia telahmemecah belah bukan
mempersatukan, membuat orang lari, bukan memberi rangsangan, mempersulit tidak
mempermudah, menanamkan kebencian bukan membuat orang suka, mengusir bukan
memikat, bahkan ia telah membantu setan melawan objek dakwah. Padahal semstinya
ia menolongnya untik melawan setan.
Sifat santunya mendahului ketiaktahuannya.
Sifat
hilm (penyantun) akan melindungi
pemiliknya dari berbagai fitnah, dapat menjaga dari marah, dan mendatangkan
kemenangan. Sifat ini juga merupakan salah satu bentuk kasih sayang terhadap
manusia. Hal itu karena kejahatan tidak dapat disembuhkan dengan kejahatan.
Seringkali dalam kehidupan ini kita berupaya mengobati keburukan dengan
keburukan yang sepadan, sehingga yang kita dapatkan kemudian adalah orang yang
marah semakin marah, dan orang yang membenci semakin membenci.
Sesungguhnya
sifat penyantun itu merupakan salah satu tanda dari tanda-tanda kenabian
Rasululloh SAW, sebagaimana diceritakan oleh Abdullah bin Salam mengenai kisah
Zaid bin Sa’nah. Abdulloh bin Salam berkata, ‘sesungguhnya Allah SWT ketika
hendak memberi petunjuk pada Zaid bin Sa’nah, Zaid berkata, Tidak ada
sedikitpun dari tanda-tanda kenabian kecuali aku telah melihatnya di wajah
Muhammad Saw. Ada dua hal yang akan aku
beritahukan: Sifat Hilmnya mendahului
ketidak tahuanya, dan ketidaktahuan yang sangat itu tidak mennambahinya kecuali
semakin bersikap halim. Aku pernah pergi kepadanya untuk berkawan denganya,
maka aku mengetahui sifat hilmnya dari
ketidaktahuanya”.
Rasululloh SAW dalam Al Qur’an
Allah
menampilkan Rosululloh kepada manusia dengan sifat-sifat yang dicintai umatnya,
yaitu simpatik, penuh perhatian, dan kasih sayang. Berikut adalah karakter yang
memperkuat hubungan umat Muhammad SAW dengan orang yang mengurusi prkara mereka
yaitu Rosululloh SAW :
I.
Selamat dari kehancuran
II.
Merasa aman dalam perlindungan mereka
III.
Mencintai mereka disaat hadir maupun pergi
Di antara
sifat Rasululloh adalah ketika berada dalam pertempuran, beliau adalah orang
yang paling dahulu menemui musuhnya, bahkan para sahabat berlindung di belakang
beliau ketika peperangan mulai berkecamuk. Selain itu beliau adalah orang yang
paling pemaaf terhadap meereka.
Shabr
Sabar
merupakan akhlak qurani yang paling menonjol dan sangat diperhatiak oleh kitab
Allah yang mulia. Ia merupakan ahklak yang banyak diiulang-ulang dalam Al
Qur’an, karena tidak ada keimanan seseorang tanpa kesabaran padanya. Kalau
masih ada dia adalah keimanan yang lemah. Sesungguhnya iman itu yang separuh
adalah syukur, dan separuh lagi adalah sabar. Sabar juga merupakan salah satu
inti kebahagiaan, sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnul Qayyim, “inti
kebahagiaan itu ada tiga:
1)
Apabila mendapat nikmat ia bersyukur
2)
Apabila diuji ia sabar
3)
Dan apabila ia berbuat dosa maka beristgfar”.
Dan sabar tidak bisa dicapai
kecuali dengan tiga hal :
a) Menahan
diri dari mengeluh
b) Menahan
lisan dari perkataan kotor dan mengadu domba
c) Menahan
anggota badan dari perbuatan zalim
Dengan itu,
seorang muslim merasa mulia bersih hatinya, seakan ia terbang ke langit bersama
malaikat Allah yang mulia. Sebagian manusia mengira bahwa sabar merupakan
perilaku atau sikap negatif yang identik dengan menyerah, tidak berusaha dan
menghinakn diri. Padahal tidak demikian, krena sabar merupakan inti dari akhlak
yang terpuji.
Jika kesabaran
merupakan kebutuhan bagi setiap orang, mak bagi seorang da’i kesabaran itu lebih
dibutuhkan daripada yang lainya. Karena seorang dai bekerja dalam dua medan.
Yang pertama ialah dia menghadapi dirinya sendiri yakni berjihad melawan
nafsunya, mndorong untuk taat, danmencegahnya dari maksiat, kemudian ia juga
harus menghadapi orang-orang di luar dirinya, yaitu di medan dakwah.
E.
Hirs
Seorang
dai juga harus mempunyai sifat hirs
(perhatian yang besar) kepada obyek dakwahnya, sampai yang bersangkutan
merasakan adanya perhatian yang besar tersebut. Perasaan yang sepeti ini akan
mampu membuka hatinya dan mengubah perasaanya,sehingga objek dakwah siap
mendengarkan apa yang disampaikannya.
Betapapun
seorang dai menghdapi tantangan yang demikian berat, dia harus tetap
memperhatikan terhadap orang yang ia dakwahi. AlQuranul karim telah menjelaskan
kepada kita tentang perhatian itu, yang juga dimiliki oleh para nabi dan rosul.
Mereka juga sedih dan sakit ketika menghadapi tantangan dari penentang dakwah.
Beberapa
contoh sikap hirs yakni dari Nabi Muhammd hingga nabi dan rosul lainya dijelaskan
dalam Al Qur’an, cob kita renungkan apa yang terjadi pda diri Rosululloh,
ketika giginya tanggal dan kepalanya terluka dalam perang uhud. Darah mengalir
dari wajah beliau, kemudia beliau mengusap darah tersebut dan
berkata,”bagaimana kaum itu beruntung sedang mereka melukai wajah nabinya?”
kemudian Allah menurunkan firmanya,
Tidak ada sedikitpun campur tanganmu dalam
urusan mereka itu, apakah Allah menerima tobat mereka atau mnengazab mereka,
karena sesungguhnya mreka itu orang-orang yang zalim (Ali Imron: 128).
F.
Tsiqah
Keimanan
seorang dai itu sangat dalam dan kepercayaanya sangat besar terhadap kemenangan
agama. Iapercaya bahwa sesungguhnya Islam akan dimenangkan umatnya, merdeka
daulahnya, dan berkibar tinggi panji-panjinya. Keyakinan yang mantap seperti
ini bukanlah fatamorgana yang ada di tanah lapang ketika orang-orang kehausan
dan mengira itu air. Tatkala mereka mendatanginya, mereka tidak mendapatkan
apa-apa. Tidak pula keyakinan itu harapan palsu akan tetapi ia tegak di atas
argumentasi yang mantab yang kita peroleh dari Rasululloh SAW.
Kemenagan
atau pertolongan, sebagaimana bisa diperoleh di dunia, ia juga bisa diraih di
akhirat, sehingga nikmat dan kegembiraan itu dapat diperoleh secara sempurna.
Allah SWT berfirman:
Sesungguhnya kami menolong rasul-rasul Kami
dan orang-orang yang berikman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya
saksi-saksi (di hari kiamat). (Al Mukmin:51).
Berdasarkan
ayat tersebut maka pertolongna Allah di dunia maupun di akhirat adalah sama
(tetap akan diberikan) sebagaimana ada yang setelah membunuh nabi maka Allah
memberi kekuasaan kepada orang yang akan mendukung para nabi itu atas mereka.
Sesungguhnya
di antara makna kemenangan adalah Al-Intiqam yang artinya siksaan. Allah SWT
telah menyiksa orang-orang yang zalim ketika mereka hidup atau sudah mati. Oleh
karena itu, kita ingatkan orang-orang yang memusuhi Allah dan RasuNya yang
selalu mengancam para pendukungnya serta memerangi hamba-hambanya dan para
mujahidin di jalan Allah. Kita ingatkan mereka dengan sunnatullah yang berlaku.
Kita perlihatkan kepada mereka apa yang pernah menimpa umat-umat terdahulu.
Sesungguhnya
komitmen iman kita bahwa masa depan untuk agama ini, akan memberikan harapan
yang dapat mendorong kita untuk bekerja secara serius agar dapat sampai pada
kemenangan yang meyakinkan. Itu tidak akan terwujud kecuali apabila kita mau
meningkatkan derajat kita sesuai dengan agama ini, baik dibidang aqidah,
ibadah, akhlak, dan pemahaman terhadap apa yang ada di sekeliling kita
sertamakrifat terhadap berbagai modernitas. Ulama berkata “Allah memberi rahmat
seseorang yang paham terhadap zamanya dan istiqomah terhadap manhajnya”.
Oleh
karena itu, para da’i dewasa ini merupakan pembawa cahaya di tengah-tengah umat
yang tengah dalam kegelapan. Mereka adalah benih-benih kesadaran yang tertanam
di tengah umat yang sedang tertidur. Mereka adalah tumpuan harapan dunia pada
saatdunia sedang dilanda krisis petunjuk, dan pada saat yang sama mereka
mementingkan diri dan kekufuran. Maka marilah kita beramal, karena harapan itu
tetap mendorong kita. Demikian pula keyakinan untuk merealisasikan kemenangan
itu menjadi pembimbing kita, dan Rasululloh SAW adalah pembimbing kita agar
terwujud firman Allah SWT,
“Maka kami berikan kekuatan kepada
orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh mereka, lalu mereka menjadi
orang-orang yang menang”(Ash-Shaf:14).
[1] Aziz,
Jum’ah Amin Abdul, FIQIH DAKWAH: Prinsip dan Kaidah Asasi Dakwah Islam(Solo,
2011: PT ERA ADICITRA INTERMEDIA),h.74
Terimakasih artikelnya.
BalasHapusSangat bermanfaat.
Salam kenal juga ya?
Www.kajianummat.blogspot.com