Sabtu, 17 November 2012

DAKWAH DENGAN PENDIDIKAN ISLAM


DAKWAH DENGAN PENDIDIKAN ISLAM
MUHAMMAD MUSLIM (11210044)
KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA

Mengikuti ajaran sang panutan nabi Muhammad SAW pembawa Islam yang dapat mengembangkan islam ditanah yang sudah mempunyai kebudayaan memang sangat diperlukan. Bagaimana menyebarkan ajaran islam dengan baik yang tujuannya adalah untuk berdakwah tanpa harus ada unsur pemaksaan dan tindakan anarkisme. Nilai amar ma’ruf nahi munkar yang didakwahkan akan lebih efektik dan efesien serta mengundang sikap simpati dengan uswah hasanah kepada yang didakwahi/ mad’u. Bila budaya juga merupakan jalan yang sangat baik digunakan maka penyebaran islam juga sangat baik dilaksanakan dengan cara demikian.
Sejarah masuknya Islam ke wilayah Nusantara sudah berlangsung demikian lama, sebagian berpendapat bahwa Islam masuk  pada abad ke-7 M  yang datang lansung dari Arab. Pendapat lain mengatakan bahwa Islam masuk pada abad ke-13, dan ada juga yang berpendapat bahwa Islam masuk pada sekitar abad ke 9 M atau 11 M . Perbedaan pendapat tersebut dari pendekatan historis semuanya benar, hal tersebut didasar bukti-bukti sejarah serta peneltian para sejarawan yang menggunakan pendekatan dan  metodenya masing-masing [1].
Berdasarkan landasan bahwa islam adalah agama rahmatalil’alamin, maka dalam penyebaranya agama islam di Nusantara (Indonesia) setelah dengan beberapa macam hal penyebaran Islam para pembawa ajaran Islam/ ulama’ juga menggunakan sistem pendidikan berdasarkan cultur budaya  yang sudah berjalan ketika itu. Dakwah yang dilakukan juga berdasarkan sistem pendidikan berupa pondok pesantren salaf. Dengan upaya tersebut dapat dilihat bagaimana perkembangan pesat agama Islam hingga pada massa sekarang.
Dakwah dengan studi pengembangan Islam di Indonesia dapat digambarkan demikian, bahwa lembaga/ sistem pendidikan Islam di indonesia mulai dari sistem pendidikan (1) langgar, kemudian sistem (2) pesantren, kemudian berlanjut dengan sistem (3) pendidikan kerajaan-kerajaan Islam, akhirnya muncul sistem (4) klas[2]. Masing-masing dari sistem tersebut mempunyai cara tersendiri dalam pengajaranya. Adapun sistem pendidikan di pesantren ialah dimana seorang kiyai mengajari santri dengan sarana masjid sebagai tempat pengajaran/ pendidikan, dan didukukng oleh pondok sebahai tempai tinggal santri. Di pesantren juga berjalan dua cara, yakni (1) sorogan dan ((2) halaqah. Hanya saja sorogan di pesantren biasanya dengan cara si santri yang membaca kitab, sementarakiyai mendengar sekaligus mengoreksi kalau ada kesalahan[3].
Menurut asal katanya pesantren berasal dari kata santri yang mendapat awalan imbuhan pe dan akhiran an yang menunjukkan tempat. Dengan demikian pesantren artinya tempat para santri. Sedangkan menurut Sudjoko Prasodjo, “pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama, umumnya dengan cara nonklasikal, dimana seorang kiyai mengajarkan ilmu agama Islam kepada santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa araboleh ulama abad pertengahan, dan para santri biasanya tinggal di pondok (asrama) dalam pesantren tersebut”. Dengan demikian dalam lembaga pendidikan Islam yang di sebut pesantren tersebut sekurang-kurangnya memiliki unsur-unsur: kiyai, santri, masjid sebagai tempat penyelenggaraan pendidikan dan pondok atau asrama sebagai tempat tinggal para santri serta kitab-kitab klasik sebagai sumber atau bahan pelajaran[4].
            Tidak dapat disangkal bahwa pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional  dan sebagai sub-kultur dalam kehidupan bangsa Indonesia, memegang peran yang sangat penting dan signifikan dalam pembinaan mental dan pribadi masyarakat. Pondok pesantren yang jumlahnya ribuan dan tersebar di pelosok-pelosok daerah diseluruh nusantara, turut pula menymbangkan darma baktinya dalam usaha mulia melaksanakan misi penting ‘nation and character building’ bangsa Indonesia[5].
            Dahulu banyak model pesanten salaf yang dikembangkan yakni model pengajaranya tidak menggunakan sistem pendidikan secara kelas serta menggunakan kitab kuning sebagai bahan dalam memberikan pelajaranya. Kitab-kitab kuning yang banyak dipakai di pesantren salaf adalah kitab-kitab fikih, ushul fikih, tasawuf, tafsir, dan tauhid yang dikarang dikalangan ulama pada masa klasik sejarah Islam[6].
            Menurut beberapa literatur diantara karakteristik pesantren hampir semua sama begitu juga sebagaimana yang ditulis oleh Samsul Nizar yaitu pembagian karakteristiknya dari segi;

a.       Materi pelajaran dan metode pengajaran
Sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren pada dasarnya hanya mengajarkan agama, sedangkan kajian atau mata pelajaranya ialah kitab-kitab dalam bahasa arab (kitab kuning).
Adapun metode yang lazim digunakan dalam pendidikan pesantren ialah:
1)   Wetonan, yakni suatu model kuliah dimana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kiyai yang menerangkan pelajaran. Santi menyimak kitab masing-masing dan mencatat jika perlu. Pelajaran diberikan pada waktu-waktu tertentu, yaitu sebelum atau sesudah melaksanakan shalat fardlu, ada juga yang memberikan istilah bandongan ataupun halaqoh.
2)   Metode Sorogan, yakni suatu metode dimana santri menghadap kiyai seorang demi seorang dengan membawa kitab yang akan dipelajarinya. Metode sorogan ini merupakan bagian yang paling sulit dari keseluruhan metode pendidikan Islam tradisional, sebab sistem ini menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi santri. Kendatipun demikian, metode ini diakui paling intensif, karena dilakukan seorang demi seorang dan ada kesempatan untuk tanyajawab secara langsung.
3)   Metode Hafalan, yakni suatu metode di mana santri menghafal teks atau kalimat tertentu dari kitabyang dipelajarinya.
b.      Jenjan Pendidikan
Jenjang pendidikan dalam pesantren tidak dibatasiseperti dalam lembaga-lembaga pendidikan yang memakai sistem klasikal. Umumnya, kenaikan tingkat seorang santri  ditandai dengan tamat dan bergantinyakitab yang dipelajari. Jadi, jenjang pendidikan tidak ditandai dengan naiknya kelas seperti dalam pendidikan formal, tetapi dalam penguasaan kitab-kitab yany telah ditetapkan dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi.
c.       Fungsi Pesantren
Pesantren tidak hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga berfungsi sebagai lembaga sosial dan penyiaran keagamaan. Sebagai lembaga pendidikan pesantren menyelenggarakan pendidikan formal (madrasah, sekolah umum, perguruan tinggi) dan non formal. Sebagai lembaga sosial, pesantren menampung anak-anak dari segala lapisan masyarakat muslim tanpa membeda-bedakan status sosial, menerima tamu yang datang dari masyarakat umum dengan motif yang berbeda-beda. Sebagai lembaga penyiaran agama islam, masjid pesantren juga berfungsi sebagai masjid umum, yakni sebagai tempat belajar agama dan ibadah bagi para jama’ah.
d.      Kehidupan Kiyai dan Santri
Berdirinya pondok pesantren bermula dari seorang kiyai yang menetap atau bermukim disuatu tempat. Kemudian datanglah santri yang ingin belajar kepadanya dan turut pula bermukim di tempat itu. Sedangkan biaya kehidupan dan pendidikan disediakan bersama-sama oleh para santri dengan dukungna masyarakat di sekitarnya. Hal ini, memungkinkan kehidupan pesantren bisa berjalan stabil tanpa dipengaruhi oleh gejolak ekonomi diluar[7].
Berikut ini juga dipaparkan beberapa ciri yang sangat menonjol dalam kehidupan pesantren, sehingga membedakanya dengan sistem pendidikan lainya. Pada umumnya ada delapan ciri pendidikan pesantren yaitu:
1.      Adanya hubungan yang akrab antara santri dan kiyainya.
2.      Adanya kepatuhan santri kepada kiyai.
3.      Hidup hemat dan penuh kesederhanaan.
4.      Kemandirian.
5.      Jiwa tolong menolong dan suasana persaudaraan.
6.      Kedisiplinan.
7.      Berani menderita untuk mencapai suatu tujuan.
8.      Pemberian ijazah.[8]
Perlu dicatat bahwa ciri-ciri di atas merupakan gambaran sosok pesantren dalam bentuk yang masih murni, yaitu pesantren tradisional. Sementera dinamika dan kemajuan zaman telah mendorong terjadinya perubahan terus-menerus pada sebagian besar pesantren. Maka, pada akhir-akhir ini akan sulit ditemukan sebuah pesantren yang bercorak tradisional murni. Karena pesantren sekarang telah mengalami tansformasi sedemikian rupa sehingga menjadi corak yang berbeda-beda.
Disamping itu ciri-ciri pesantren di atas serta unsur-unsur kelembagaanya tidak bisa dipisahkan darisistem kultural dan tidak dapat pula dilekatkan pada semua pesantren secara uniformitas karena setiap pesantren memiliki keunikan masing-masing, tetapi pesantren secara umum memiliki karakteristik yang hampir sama.
Beberapa metode dakwah yang digunakan dalam pesantren.

Terdapat beberapa hal yang mesti dianalisis kembali mengenai  metode-metode  dakwah yang biasa dilihat dalam masyarakat, dari hal tersebut maka akan dengan mudah apa dan bagaimana dakwah pesantren, terutama alur yang representatif untuk memunculkan peran keagamaannya dalam konteks masyarakat kekinian.

Pertama, dalam Hidayat al-Mursyidin ila thuruq al wa’zi wa al irsyad (Kairo: Dar al I’tisam, tt). Syeikh Ali Mahfuz yang diakui sebagai berotoritas dalam ilmu dakwah membedakan dakwah itu sendiri dalam tiga ranah. Dakwah antar individu muslim, dakwah antar golongan umat muslim, dan dakwah umat muslim kepada non-muslim. Yang menarik adalah dalam perkembangannya justru dakwah hanya berkutat pada ranah yang terakhir, yakni dalam pengertian sederhana gerakan dakwah adalah gerakan meng-Islamkan umat non-muslim. Di sinilah metode dakwah pesantren akan sedikit mengambil posisi yang lebih bermanfaat. Pesantren tidak menganggap bahwa konversi iman sebagai  inti dari sebuah gerakan dakwah. Lebih dari itu dakwah pesantren mengusulkan agar target dakwah dikonsentrasikan pemberdayaan umat dalam ranah internal. Dakwah memiliki titik sasaran pemberdayaan untuk kemandirian masyarakat muslim, membuka kesadaran untuk bangkit, dan menawarkan jalinan silaturrahmi yang kuat antar komunitas dengan kebersamaan menguatkan bangsa.


Kedua, dalam ranah kebijakan publik dan politik, dakwah pesantren adalah dakwah yang menawarkan gagasan ide tentang kesetaraan hak-hak warga negara –civil right-. Sesuai dengan ciri khas gerakan pesantren yang tumbuh kembang bersama rakyat lapis bawah secara langsung, maka gerakan dakwahnyapun harus mengikuti dan menjawab kebutuhan masyarakat akar-rumput.


Ketiga, dalam ranah sosial, gerakan dakwah pesantren lebih memilih pendekatan dakwah kultural dibanding militan. Pesantren lebih cenderung memberikan gagasan pengembangan Islam sebagai sistem moral – al Islam huwa al nizham al akhlaqiyah -. Pesantren menolak segala bentuk kekerasan dan penindasan, terlebih dengan mengatas-namakan agama dan gerakan dakwah.

Keempat, dalam konteks komunikasi global, dakwah pesantren justru memberikan peluang dialog antara budaya dan keyakinan – intercultur faith understanding -. Pesantren melalui kelembagaan yang lebih formalnya yakni Nahdlatul Ulama (NU) menjadi sebuah tampilan sistem keagamaan yang ramah sekaligus sangat bersikap universal. Berusaha hadir dengan melindungi siapa saja, dan mengembalikan pengertian Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Gerakan dakwah pesantren seperti ini tentu memilliki konsentrasi dan cita-cita mempertahankan kesatuan dan keutuhan bangsa, dan ini dipandang lebih penting dan sesuai dengan konteks keIndonesiaan, dibanding hanyut dalam romantisme sejarah kejayaan Islam yang memiliki perbedaan yang tajam dengan kondisi sekarang.[9]
Sebenarnya masih banyak model dakwah melalui pendidikan Islam terlebih dalam lingkungan pesantren. Mengingat santri lulusan pesantren yang notabenya terdiri dari berbagai macam daerah akan menyebarkan ajaran islam yang telah di dapatnya ke daerah asal mereka.



[1] muftiramdlani.wordpress.com.htm
[2] Nasution Khoiruddin, Pengantar Studi Islam, (Yogyakarta, ACAdeMIA :2010).h. 108.
[3] . Nasution Khoiruddin, Pengantar Studi Islam, (Yogyakarta, ACAdeMIA :2010).h.109.
[4] Nizar Samsul, Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Sejarah Pendidikan Era Rasululloh Sampai Indonesia, (Jakarta, Kencana: 2007).h. 286.
[5] .Ismail Faisal, Islam : Melacak Teks Menguak Konteks (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2009)h.82.
[6] .Ibid h.81.
[7] .Ahmad Mansyur Suryanegara, Menemukan Sejarah Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998), cet IV,h.130.
[8] . Nata Abudin, Sejarah pertumbuhan dan perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2011),h.118-119.
[9] . http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,37015-lang,id-c,kolom-t,Dialog+Pesantren-.phpx

Tidak ada komentar:

Posting Komentar