DAKWAH
DENGAN PENDIDIKAN ISLAM
MUHAMMAD MUSLIM (11210044)
KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
UIN
SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
Mengikuti
ajaran sang panutan nabi Muhammad SAW pembawa Islam yang dapat mengembangkan
islam ditanah yang sudah mempunyai kebudayaan memang sangat diperlukan.
Bagaimana menyebarkan ajaran islam dengan baik yang tujuannya adalah untuk
berdakwah tanpa harus ada unsur pemaksaan dan tindakan anarkisme. Nilai amar ma’ruf nahi munkar yang didakwahkan
akan lebih efektik dan efesien serta mengundang sikap simpati dengan uswah hasanah kepada yang didakwahi/ mad’u. Bila budaya juga merupakan
jalan yang sangat baik digunakan maka penyebaran islam juga sangat baik
dilaksanakan dengan cara demikian.
Sejarah
masuknya Islam ke wilayah Nusantara sudah berlangsung demikian lama, sebagian
berpendapat bahwa Islam masuk pada abad ke-7 M yang datang lansung
dari Arab. Pendapat lain mengatakan bahwa Islam masuk pada abad ke-13, dan ada
juga yang berpendapat bahwa Islam masuk pada sekitar abad ke 9 M atau 11 M .
Perbedaan pendapat tersebut dari pendekatan historis semuanya benar, hal
tersebut didasar bukti-bukti sejarah serta peneltian para sejarawan yang
menggunakan pendekatan dan metodenya masing-masing [1].
Berdasarkan
landasan bahwa islam adalah agama rahmatalil’alamin,
maka dalam penyebaranya agama islam di Nusantara (Indonesia) setelah dengan
beberapa macam hal penyebaran Islam para pembawa ajaran Islam/ ulama’ juga
menggunakan sistem pendidikan berdasarkan
cultur budaya yang sudah berjalan
ketika itu. Dakwah yang dilakukan juga berdasarkan sistem pendidikan berupa
pondok pesantren salaf. Dengan upaya tersebut dapat dilihat bagaimana
perkembangan pesat agama Islam hingga pada massa sekarang.
Dakwah
dengan studi pengembangan Islam di Indonesia dapat digambarkan demikian, bahwa
lembaga/ sistem pendidikan Islam di indonesia mulai dari sistem pendidikan (1)
langgar, kemudian sistem (2) pesantren, kemudian berlanjut dengan sistem (3)
pendidikan kerajaan-kerajaan Islam, akhirnya muncul sistem (4) klas[2].
Masing-masing dari sistem tersebut mempunyai cara tersendiri dalam
pengajaranya. Adapun sistem pendidikan di pesantren ialah dimana seorang kiyai
mengajari santri dengan sarana masjid sebagai tempat pengajaran/ pendidikan,
dan didukukng oleh pondok sebahai tempai tinggal santri. Di pesantren juga
berjalan dua cara, yakni (1) sorogan dan ((2) halaqah. Hanya saja sorogan di
pesantren biasanya dengan cara si santri yang membaca kitab, sementarakiyai
mendengar sekaligus mengoreksi kalau ada kesalahan[3].
Menurut
asal katanya pesantren berasal dari kata santri yang mendapat awalan imbuhan pe dan akhiran an yang menunjukkan tempat. Dengan demikian pesantren artinya
tempat para santri. Sedangkan menurut Sudjoko Prasodjo, “pesantren adalah
lembaga pendidikan dan pengajaran agama, umumnya dengan cara nonklasikal,
dimana seorang kiyai mengajarkan ilmu agama Islam kepada santri-santri
berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa araboleh ulama abad
pertengahan, dan para santri biasanya tinggal di pondok (asrama) dalam
pesantren tersebut”. Dengan demikian dalam lembaga pendidikan Islam yang di
sebut pesantren tersebut sekurang-kurangnya memiliki unsur-unsur: kiyai,
santri, masjid sebagai tempat penyelenggaraan pendidikan dan pondok atau asrama
sebagai tempat tinggal para santri serta kitab-kitab klasik sebagai sumber atau
bahan pelajaran[4].
Tidak dapat disangkal bahwa pondok
pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional dan sebagai sub-kultur dalam kehidupan bangsa
Indonesia, memegang peran yang sangat penting dan signifikan dalam pembinaan
mental dan pribadi masyarakat. Pondok pesantren yang jumlahnya ribuan dan
tersebar di pelosok-pelosok daerah diseluruh nusantara, turut pula menymbangkan
darma baktinya dalam usaha mulia melaksanakan misi penting ‘nation and
character building’ bangsa Indonesia[5].
Dahulu banyak model pesanten salaf
yang dikembangkan yakni model pengajaranya tidak menggunakan sistem pendidikan
secara kelas serta menggunakan kitab kuning sebagai bahan dalam memberikan
pelajaranya. Kitab-kitab kuning yang banyak dipakai di pesantren salaf adalah
kitab-kitab fikih, ushul fikih, tasawuf, tafsir, dan tauhid yang dikarang
dikalangan ulama pada masa klasik sejarah Islam[6].
Menurut beberapa literatur diantara
karakteristik pesantren hampir semua sama begitu juga sebagaimana yang ditulis
oleh Samsul Nizar yaitu pembagian karakteristiknya dari segi;
a. Materi
pelajaran dan metode pengajaran
Sebagai
lembaga pendidikan Islam, pesantren pada dasarnya hanya mengajarkan agama,
sedangkan kajian atau mata pelajaranya ialah kitab-kitab dalam bahasa arab
(kitab kuning).
Adapun
metode yang lazim digunakan dalam pendidikan pesantren ialah:
1) Wetonan,
yakni suatu model kuliah dimana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di
sekeliling kiyai yang menerangkan pelajaran. Santi menyimak kitab masing-masing
dan mencatat jika perlu. Pelajaran diberikan pada waktu-waktu tertentu, yaitu
sebelum atau sesudah melaksanakan shalat fardlu, ada juga yang memberikan
istilah bandongan ataupun halaqoh.
2) Metode Sorogan,
yakni suatu metode dimana santri menghadap kiyai seorang demi seorang dengan
membawa kitab yang akan dipelajarinya. Metode sorogan ini merupakan bagian yang
paling sulit dari keseluruhan metode pendidikan Islam tradisional, sebab sistem
ini menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi santri.
Kendatipun demikian, metode ini diakui paling intensif, karena dilakukan
seorang demi seorang dan ada kesempatan untuk tanyajawab secara langsung.
3) Metode Hafalan, yakni
suatu metode di mana santri menghafal teks atau kalimat tertentu dari kitabyang
dipelajarinya.
b. Jenjan
Pendidikan
Jenjang
pendidikan dalam pesantren tidak dibatasiseperti dalam lembaga-lembaga
pendidikan yang memakai sistem klasikal. Umumnya, kenaikan tingkat seorang
santri ditandai dengan tamat dan
bergantinyakitab yang dipelajari. Jadi, jenjang pendidikan tidak ditandai
dengan naiknya kelas seperti dalam pendidikan formal, tetapi dalam penguasaan
kitab-kitab yany telah ditetapkan dari yang paling rendah sampai yang paling
tinggi.
c. Fungsi
Pesantren
Pesantren
tidak hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga berfungsi sebagai
lembaga sosial dan penyiaran keagamaan. Sebagai lembaga pendidikan pesantren
menyelenggarakan pendidikan formal (madrasah, sekolah umum, perguruan tinggi)
dan non formal. Sebagai lembaga sosial, pesantren menampung anak-anak dari
segala lapisan masyarakat muslim tanpa membeda-bedakan status sosial, menerima
tamu yang datang dari masyarakat umum dengan motif yang berbeda-beda. Sebagai
lembaga penyiaran agama islam, masjid pesantren juga berfungsi sebagai masjid
umum, yakni sebagai tempat belajar agama dan ibadah bagi para jama’ah.
d. Kehidupan
Kiyai dan Santri
Berdirinya
pondok pesantren bermula dari seorang kiyai yang menetap atau bermukim disuatu
tempat. Kemudian datanglah santri yang ingin belajar kepadanya dan turut pula
bermukim di tempat itu. Sedangkan biaya kehidupan dan pendidikan disediakan
bersama-sama oleh para santri dengan dukungna masyarakat di sekitarnya. Hal
ini, memungkinkan kehidupan pesantren bisa berjalan stabil tanpa dipengaruhi
oleh gejolak ekonomi diluar[7].
Berikut
ini juga dipaparkan beberapa ciri yang sangat menonjol dalam kehidupan
pesantren, sehingga membedakanya dengan sistem pendidikan lainya. Pada umumnya
ada delapan ciri pendidikan pesantren yaitu:
1. Adanya
hubungan yang akrab antara santri dan kiyainya.
2. Adanya
kepatuhan santri kepada kiyai.
3. Hidup
hemat dan penuh kesederhanaan.
4. Kemandirian.
5. Jiwa
tolong menolong dan suasana persaudaraan.
6. Kedisiplinan.
7. Berani
menderita untuk mencapai suatu tujuan.
8. Pemberian
ijazah.[8]
Perlu
dicatat bahwa ciri-ciri di atas merupakan gambaran sosok pesantren dalam bentuk
yang masih murni, yaitu pesantren tradisional. Sementera dinamika dan kemajuan
zaman telah mendorong terjadinya perubahan terus-menerus pada sebagian besar
pesantren. Maka, pada akhir-akhir ini akan sulit ditemukan sebuah pesantren yang
bercorak tradisional murni. Karena pesantren sekarang telah mengalami
tansformasi sedemikian rupa sehingga menjadi corak yang berbeda-beda.
Disamping
itu ciri-ciri pesantren di atas serta unsur-unsur kelembagaanya tidak bisa
dipisahkan darisistem kultural dan tidak dapat pula dilekatkan pada semua
pesantren secara uniformitas karena setiap pesantren memiliki keunikan
masing-masing, tetapi pesantren secara umum memiliki karakteristik yang hampir
sama.
Beberapa
metode dakwah yang digunakan dalam pesantren.
Terdapat beberapa hal yang mesti dianalisis kembali mengenai metode-metode dakwah yang biasa dilihat dalam masyarakat, dari hal tersebut maka akan dengan mudah apa dan bagaimana dakwah pesantren, terutama alur yang representatif untuk memunculkan peran keagamaannya dalam konteks masyarakat kekinian.
Pertama,
dalam Hidayat al-Mursyidin ila thuruq al wa’zi wa al irsyad (Kairo: Dar al
I’tisam, tt). Syeikh Ali Mahfuz yang diakui sebagai berotoritas dalam ilmu
dakwah membedakan dakwah itu sendiri dalam tiga ranah. Dakwah antar individu
muslim, dakwah antar golongan umat muslim, dan dakwah umat muslim kepada
non-muslim. Yang menarik adalah dalam perkembangannya justru dakwah hanya
berkutat pada ranah yang terakhir, yakni dalam pengertian sederhana gerakan dakwah
adalah gerakan meng-Islamkan umat non-muslim. Di sinilah metode dakwah
pesantren akan sedikit mengambil posisi yang lebih bermanfaat. Pesantren tidak
menganggap bahwa konversi iman sebagai inti dari sebuah gerakan dakwah.
Lebih dari itu dakwah pesantren mengusulkan agar target dakwah dikonsentrasikan
pemberdayaan umat dalam ranah internal. Dakwah memiliki titik sasaran
pemberdayaan untuk kemandirian masyarakat muslim, membuka kesadaran untuk
bangkit, dan menawarkan jalinan silaturrahmi yang kuat antar komunitas dengan
kebersamaan menguatkan bangsa.
Kedua, dalam ranah kebijakan publik dan politik, dakwah pesantren adalah dakwah yang menawarkan gagasan ide tentang kesetaraan hak-hak warga negara –civil right-. Sesuai dengan ciri khas gerakan pesantren yang tumbuh kembang bersama rakyat lapis bawah secara langsung, maka gerakan dakwahnyapun harus mengikuti dan menjawab kebutuhan masyarakat akar-rumput.
Ketiga, dalam ranah sosial, gerakan dakwah pesantren lebih memilih pendekatan dakwah kultural dibanding militan. Pesantren lebih cenderung memberikan gagasan pengembangan Islam sebagai sistem moral – al Islam huwa al nizham al akhlaqiyah -. Pesantren menolak segala bentuk kekerasan dan penindasan, terlebih dengan mengatas-namakan agama dan gerakan dakwah.
Keempat, dalam konteks komunikasi global, dakwah pesantren justru memberikan peluang dialog antara budaya dan keyakinan – intercultur faith understanding -. Pesantren melalui kelembagaan yang lebih formalnya yakni Nahdlatul Ulama (NU) menjadi sebuah tampilan sistem keagamaan yang ramah sekaligus sangat bersikap universal. Berusaha hadir dengan melindungi siapa saja, dan mengembalikan pengertian Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Gerakan dakwah pesantren seperti ini tentu memilliki konsentrasi dan cita-cita mempertahankan kesatuan dan keutuhan bangsa, dan ini dipandang lebih penting dan sesuai dengan konteks keIndonesiaan, dibanding hanyut dalam romantisme sejarah kejayaan Islam yang memiliki perbedaan yang tajam dengan kondisi sekarang.[9]
Sebenarnya masih
banyak model dakwah melalui pendidikan Islam terlebih dalam lingkungan
pesantren. Mengingat santri lulusan pesantren yang notabenya terdiri dari
berbagai macam daerah akan menyebarkan ajaran islam yang telah di dapatnya ke
daerah asal mereka.
[1] muftiramdlani.wordpress.com.htm
[2] Nasution
Khoiruddin, Pengantar Studi Islam,
(Yogyakarta, ACAdeMIA :2010).h. 108.
[3] . Nasution
Khoiruddin, Pengantar Studi Islam,
(Yogyakarta, ACAdeMIA :2010).h.109.
[4] Nizar
Samsul, Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Sejarah Pendidikan Era Rasululloh
Sampai Indonesia, (Jakarta, Kencana: 2007).h. 286.
[5] .Ismail
Faisal, Islam : Melacak Teks Menguak
Konteks (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2009)h.82.
[6] .Ibid h.81.
[7] .Ahmad
Mansyur Suryanegara, Menemukan Sejarah
Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998), cet IV,h.130.
[8] . Nata
Abudin, Sejarah pertumbuhan dan
perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta:
Grasindo, 2011),h.118-119.
[9] .
http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,37015-lang,id-c,kolom-t,Dialog+Pesantren-.phpx